Ada tiga kata penting yang sering di dengar
ketika mendengarkan penjelasan guru-guru di Jepang saat kunjungan sekolah atau
mengikuti seminar-seminar. Tiga kata itu adalah : `yutori kyouiku`(ゆとり教育),ikiru
chikara (生きる力), dan kokoro kyouiku (心教育).
Yutori kyouiku
artinya memberikan space dan waktu yang leluasa kepada anak untuk berkembang.
Dengan prinsip ini, sekolah di Jepang yang semula libur hanya dua kali hari
Sabtu setiap bulan, berubah menjadi 5 hari sekolah. Setiap Sabtu semua sekolah
libur. Kebijakan ini pun menyebabkan 30% content pelajaran dipangkas, dan
diperkenalkan course baru yaitu `Sougouteki gakusyuu jikan` (総合的学習時間)、integrated
course, yang bertujuan untuk mempelajari materi yang lebih membumi. Mengapa
demikian ? Karena siswa diajak untuk mengaplikasikan semua ilmu yang
dipelajarinya di mata pelajaran yang lain untuk memahami fenomena alam, lingkungannya, kampungnya,
dan orang-orang sekitarnya. Dengan kebijakan ini pula siswa hanya belajar
materi pokok saja, sedangkan mata pelajaran yang sekunder disajikan dalam
integrated course.
Yutori kyouiku mulai
dipertanyakan keefektifannya saat ini karena merosotnya prestasi akademik
siswa-siswa Jepang di tingkat international (PISA dan TIMMS). Orang tua pun
khawatir. Karenanya tahun 2005 Kementrian Pendidikan mengeluarkan kebijakan
penerapan `zenkoku gakuryoku tesuto` (全国学力テスト),
yaitu test kemampuan akademik secara nasional.
Ikiru chikara artinya potensi atau kemampuan untuk
hidup. Dalam bahasa kerennya disebut `zest of living`. Sekolah harus mendidik
siswa yang siap berkembang, sehat jasmani, memiliki keinginan untuk hidup (ini
mungkin karena banyak anak Jepang yang lebih suka bunuh diri), plus mempunyai
semangat bekerjasama yang baik. Aplikasi dari prinsip ini, di sekolah-sekolah
Jepang diperkenalkan kegiatan `bukatsudou` (club activities), semacam eskul di Indonesia, yang
memungkinkan para siswa berkembang sesuai minatnya. Dampak negatif dari
kegiatan ini, banyak siswa yang tertidur di kelas selama jam pelajaran karena
kecapekan.
Kokoro kyouiku
artinya pendidikan hati/kejiwaan. Anak Jepang harus bermental baja, tidak mudah
putus asa, dan melakukan tindakan bunuh diri hanya karena diejek teman. Anak
Jepang pun harus berkembang menjadi anak yang pemberani, dermawan, dan segala
akhlak mulia lainnya. Bagaimana aplikasinya ? Di sekolah, guru harus
memperhatikan kondisi satu per satu anak didik, membantu keterlambatan belajar
mereka satu per satu, bekerjasama dengan orang tua. Dampak negatifnya : guru
makin lama harus berada di sekolah, karena harus mengamati dan mendata plus
mendiskusikan perkembangan anak didiknya dengan pejabat sekolah atau sesama
guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar