Untuk menjadi sebuah Negara yang maju, diperlukan
generasi penerus bangsa yang berkualitas.
Generasi berkualitas, ialah sebuah generasi yang memiliki kreativitas tinggi
dan minat
baca yang tinggi pula. Dan tentu saja, kreativitas dan kemampuan, dapat di raih
dengan cara
meningkatkan budaya membaca.
Sebelumnya saya
akan membahas mengenai social entrepreneur, karena disini saya akan menulis
tentang harapan saya untuk menjadi seorang entrepreneur dengan membangun
perpustakaan di daerah terpencil. Bagi disiplin ilmu
ekonomi kata entrepreneur merupakan hal yang sudah mendarah daging karena sudah
diperkenalkan dengan tokoh-tokohnya
antara lain Richard Cantillon (1755), J.B. Say (1803) dan J.Schumpeter (1934).
Cantillon menyatakan entrepreneur sebagai seseorang yang mengelola perusahaan atau usaha
dengan mendasarkan pada akuntabilitas dalam
menghadapi
resiko yang terkait ( a person who undertakes and operates a new enterprise or venture
and assumes some accountability for inherent risks);
J.B.Say memberikan
pengertian entrepreneur sebagai seseorang yang mampu meningkatkan nilai sumber daya
ekonomi ke tingkatan yang lebih tinggi, baik produktivitasnya maupun nilainya ( a person who
creates value by shifting economic
resources
out of an area of lower and into an area of higher productivity and
greater yield), sedangkan Schumpeter
mendefinisikan “unternehmer” atau
entrepreneur
sebagai
an innovative force for economic progress, important in the process of creative
destruction and therefore as a change
agent.
Dari berbagai pengertian tersebut maka Social
Entrepreneur sesungguhnya adalah
agen perubahan (change agent) yang mampu untuk :
·
Melaksanakan cita-cita mengubah dan memperbaiki nilai-nilai sosial
·
Menemu kenali berbagai peluang untuk melakukan perbaikan
·
Selalu melibatkan diri dalam proses inovasi, adaptasi, pembelajaran yang terus menerus
·
Bertindak tanpa menghiraukan berbagai hambatan atau keterbatasan yang dihadapinya
·Memiliki
akuntabilitas dalam mempertanggungjawabkan hasil yang dicapainya, kepada masyarakat.
Yang menggembirakan bahwa akhir-akhir ini adalah
terjadinya pergeseran social
entrepreneurship yang semula dianggap merupakan kegiatan
”non-profit” (antara
lain melalui kegiatan amal) menjadi kegiatan yang berorientasi bisnis (entrepreneurial private-sector
business activities). Keberhasilan legendaris dari Grameen Bank dan Grameen Phone di
Bangladesh adalah salah satu contoh
terjadinya
pergeseran orientasi dalam menjalankan program social entrepereneurship.
Hal ini menjadi daya tarik bagi dunia bisnis untuk turut serta
dalam
kegiatan social entrepreneurship, karena ternyata dapat menghasilkan keuntungan finansial.
PERANAN
DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI
Social
Entreprenuers makin berperan dalam pembangunan ekonomi
karena ternyata mampu memberikan daya
cipta nilai–nilai sosial maupun ekonomi, yakni :
1.
Kesempatan Kerja
Manfaat ekonomi yang dirasakan dari Social
Entrepreneurship di berbagai negara
adalah penciptaan kesempatan kerja baru yang meningkat secara signifikan. Selain itu memberikan pula peluang
kerja kepada penyandang cacat untuk
dilibatkan
dalam kegiatan produktif. Keberhasilan Muhammad Yunus antara lain adalah kemampuannya untuk
memberdayakan 6 juta orang wanita menjadi
kekuatan
yang produktif secara ekonomi, membentuk phone-lady yang tersebar didesa-desa dan memberdayakan
ribuan pengemis untuk melakukan kegiatan yang lebih
produktif.
2.
Inovasi dan Kreasi
Berbagai inovasi terhadap jasa kemasyarakatan yang
selama ini tidak tertangani
oleh pemerintah dapat dilakukan oleh kelompok Social Entrepereneurship seperti misalnya : penanggulangan
HIV dan narkoba, pemberantasan buta huruf,
kurang
gizi. Seringkali standar pelayanan yang dilakukan pemerintah tidak mengena sasaran karena terlalu kaku
mengikuti standar yang ditetapkan.
Sedangkan
Social Entrepreneurs mampu untuk mengatasinya karena memang dilakukan dengan penuh dedikasi.
Menurut Bill Drayton (2006): social
entrepreneurs
need and deserve loyalty. Their work is not a job, it is their life.
3. Modal Sosial
Modal sosial merupakan bentuk yang paling penting
dari berbagai modal yang
dapat diciptakan oleh social entrepreneur karena walaupun dalam
kemitraan ekonomi
yang paling utama adalah nilai -nilai : saling pengertian (shared value), trust (kepercayaan)
dan budaya kerjasama ( a culture of cooperation), kesemuanya ini adalah modal sosial. Keberhasilan
negara Jerman dan Jepang adalah karena akar
dari
long-term relationship dan etika kerjasama yang mampu untuk menumbuhkan inovasi dan mengembangkan industri
di negara masing-masing. Bank Dunia
menyatakan
pula bahwa permasalahan yang kritis dalam penanggulangan kemiskinan adalah modal sosial yang
tidak memadai. Dibawah ini digambarkan
“virtous
circle of social capital” yang diawali dengan penyertaan awal dari modal sosial oleh social entrepreneurs.
Selanjutnya dibangun jaringan kepercayaan dan kerjasama
yang makin meningkat sehingga dapat akses kepada pembangunan fisik, aspek keuangan dan sumber daya
manusia. Pada saat unit usaha dibentuk
(organizational
capital) dan saat usaha sosial mulai menguntungkan maka makin
banyak
sarana sosial dibangun.
4.
Peningkatan Kesetaraan
Salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah
terwujudnya kesetaraan dan
pemerataan kesejahteraan masayarakat. Dan melalui social entrepreneurship tujuan tersebut akan dapat
diwujudkan, karena para pelaku bisnis yang semula hanya
memikirkan pencapaian keuntungan yang maksimal, selanjutnya akan tergerak pula untuk memikirkan
pemerataan pendapatan agar dapat dilakukan
pembangunan
ekonomi yang berkelanjutan. Contoh keberhasilan Grameen Bank
adalah
salah satu bukti dari manfaat ini. Demikian pula upaya J.B.Schramm dari
Amerika
Serikat yang telah membiayai ribuan pelajar dari keluarga tidak mampu
untuk
melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi.
Seorang relawan berhadapan pada
dunia yang sedang berubah dengan pesat membuat mereka semakin paham, bukan
hanya terhadap dunia, juga terhadap dirinya sendiri. Kepercayaan dan pandangan
diri mereka cukup tinggi, mereka paham atas tanggung jawab juga haknya. Mereka
ingin berkontribusi, dan mempunyai keinginan kuat untuk “dilihat”, “didengar”
dan “diakui”. Mereka tidak ingin diperlakukan sebagai “warga kelas dua” dalam
segala kegiatannya, apalagi dalam organisasi.
Mengapa saya mengambil tema perpustakaan di daerah
terpencil? berikut ini akan saya uraikan beberapa alasan-alasan saya:
Perpustakaan memang telah mengalami perkembangan.
Masyarakat perkotaan telah dapat
menikmati
perpustakaan secara baik, terlihat pada pembangunan perpustakaan di tiap sekolah, dan perpustakaan umum di
masyarakat umum. Berbeda dengan masyarakat
pedesaan
yang belum tersentuh dengan pembangunan perpustakaan. Sehingga masyarakat pedesaan masih banyak yang
mengalami buta aksara. Akibatnya budaya membaca di pedesaan semakin berkurang. Maka
diperlukan peranan pemerintah dalam membangun dan mengelola
perpustakaan mini sebagai sarana untuk masyarakat pedesaan yang ingin menikmati pentingnya menimba ilmu
melalui membaca buku.
Masyarakat pedesaan cenderung lebih memilih untuk
langsung ’bekerja’, dibandingkan harus
menimba
ilmu di bangku sekolah. Hal tersebut juga menyebabkan budaya membaca di daerah pedesaan semakin berkurang.
Adapun kecenderungan masyarakat pedesaan yang lebih
memilih untuk langsung ’bekerja’dibandingkan dengan menimba ilmu di bangku
sekolah, disebabkan oleh beberapa hal, antara
lain :
1. Pola pikir masyarakat pedesaan yang masih rendah.
1. Pola pikir masyarakat pedesaan yang masih rendah.
Masyarakat pedesaan memiliki pola pikir, bahwa
pendidikan merupakan suatu hal yang tidak
terlalu
penting, sedangkan bekerja merupakan suatu hal yang sangat penting, karena
dengan bekerja, akan langsung memperoleh
hasil, tanpa harus membuang – buag waktu untuk bersekolah.
Masyarakat pedesaan, hanya berpikir untuk jangka pendek, tak memikirkan bahwa
menimba ilmu di bangku sekolah berguna untuk jangka panjang. Hal
ini disebabkan karena kurangnya informasi tentang pendidikan yang diperoleh
oleh
masyarakat
pedesaan.
· 2. Kemauan
Seseorang yang ingin menimba ilmu di bangku sekolah,
haruslah memiliki kemauan yang besar.
Berbeda dengan kemauan masyarakat pedesaan, yang tidak terlalu menganggap bahwa
pendidikan itu penting, dan hanya berpikir untuk jangka pendek saja.
3. Pengaruh Lingkungan
Hal ini sangat berpengaruh terhadap kemauan
seseorang untuk bersekolah. Contohnya saja,
jika
seorang anak yang kedua orang tuanya petani, pasti akan terpengaruh, dan
kemauannya untuk
bersekolah pun terpengaruh. Dia akan memilih untuk ikut kedua orangtuanya
menjadi petani,
dibandingkan harus bersekolah dan membuang – buang uangnya untuk sesuatu yang tidak
terlalu berguna bagi dia.
· 4.
Masalah biaya
Untuk bersekolah diperlukan biaya yang cukup besar.
Masyarakat pedesaan akan memperhitungkan
lagi, jika harus mengeluarkan uangnya untuk bersekolah. Mereka akan memilih untuk langsung bekerja
saja, tanpa harus mengeluarkan uang yang banyak. Oleh
karena itu, pengembangan perpustakaan harusnya tidak hanya berhenti pada daerah perkotaan,
tetapi sampai pada daerah pedesaan yang sangat terpencil.
Budaya membaca dapat difasilitasi oleh Perpustakaan. Perpustakaan umum memilki sangat banyak fungsi, diantaranya :
Budaya membaca dapat difasilitasi oleh Perpustakaan. Perpustakaan umum memilki sangat banyak fungsi, diantaranya :
1.
Perpustakaan Umum sebagai tempat pembelajaran seumur hidup (life-long learning). Perpustakaan Umumlah
tempat dimana semua lapisan masyarakat dari segala umur, dari balita sampai usia
lanjut bisa terus belajar tanpa dibatasi usia dan ruang-ruang kelas.
2.
Perpustakaan Umum sebagai katalisator perubahan budaya. Perubahan perilaku masyarakat pada hakikatnya adalah
perubahan budaya masyarakat. Perpustakaan Umum merupakan
tempat strategis untuk mempromosikan segala perilaku yang meningkatkan produktifitas masyarakat. Individu
komunitas yang berpengetahuan akan membentuk
kelompok
komunitas berpengatahuan. Perubahan pada tingkat individu akan membawa perubahan pada tingkat masyarakat.
3.
Perpustakaan Umum sebagai agen perubahan sosial. Idealnya, Perpustakaan Umum adalah tempat dimana segala
lapisan masyarakat bisa bertemu dan berdiskusi tanpa dibatasi prasangka agama, ras,
kepangkatan, strata, kesukuan, golongan, dan lain-lain.
4.
Perpustakaan Umum sebagai jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemerintah.
SMART SOLUTION DALAM PEMBANGUNAN
PERPUSTAKAAN UMUM DI MASYARAKAT PEDESAAN
Perpustakaan merupakan sarana untuk menambah wawasan
dan informasi. Setiap warga indonesia
berhak mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga tercipta generasi bangsa yang
berkualitas. Sebaiknya
pemerintah memiliki kepedulian terhadap pentingnya melestarikan budaya membaca. Adapun beberapa langkah
yang dapat ditempuh pemerintah, antara lain :
1.
Pemerintah sebaiknya melakukan penyuluhan ke daerah – daerah yang dianggap terpencil. Pada penyuluhan
tersebut, diberikan informasi tentang pentingnya budaya membaca di semua kalangan
masyarakat.
2.
Agar terwujud masyarakat yang cinta membaca, maka diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan
masyarakat sehingga tercipta perpustakaan sebagai sumber
belajar bagi masyarakat.
3.
Pentingnya pemerintah memberikan anggaran terhadap pembangunan perpustakaan didaerah terpencil.
Sehingga perpustakaan dapat berkembang tanpa
terhambat
masalah dana. Karena masalah yang menghambat berkembangnya perpustakaan sampai sekarang ini
ialah kurangnya dana yang dimiliki oleh
perpustakaan
dan sedikitnya subsidi yang diberikan oleh pemerintah
Pembangunan ekonomi seharusnya ditujukan untuk
memberdayakan manusia
(people empowerement) agar dapat mengembangkan Social Entrepreneurship termasuk
pengembangan entrepreneurship dalam arti luas. Kebijakan pemerintah seharusnya
ditujukan untuk mengurangi hambatan-hambatan birokrasi yang mengarah kepada
menurunnya kegiatan social entrepreneurship. Berbagai tantangan yang dihadapi
oleh Social Entrepreuners antara lain
adalah
masalah pendanaan, pendidikan untuk para pemimpin dimasa mendatang yang menyadari tentang pentingnya
social entrpreneurship , dan kurangnya insentif yang
diberikan oleh pemerintah untuk meringankan beban lembaga-lembaga yang bergerak dibidang sosial. Oleh
karena itu Social Entrepreneurs harus didukung oleh Social Investor agar
inovasinya dapat diwujudkan. Hendaknya
disadari bahwa Social Entrepreneurship bukanlah satu-satunya obat untuk mengatasi permasalahan
sosial yang dihadapi, karena dalam
kenyataannya
sangat dipengaruhi oleh kerangka dan struktur perekonomian yang berlaku di suatu negara. Namun
seyogyanya harusada keberanian untuk mulai
membentuk
change makers sehingga setiap individu harus diupayakan untuk dapat menjadi change maker di
lingkunganya.
Dengan dilakukannya pembangunan perpustakaan
terhadap daerah terpencil, akan menambah
minat baca dari masyarakat pedesaan yang cenderung lebih kurang minta bacanya. Sumber daya manusia akan
dapat tercipta dengan baik apabila pemerintah peduli akan pentingnya budaya membaca di
seluruh lapisan masyarakat. Generasi muda akan memperoleh
informasi – informasi sehingga menambah kemampuan mereka dalam bidang tertentu. Harapan saya, dengan
solusi sederhana yang saya berikan dapat menjadi bahan kajian terhadap pemerintah untuk
mewujudkan pembangunan perpustakaan dimasyarakat pedesaan.
Sehingga terwujud budaya membaca di seluruh lapisan Masyarakat. Dan perpustakaan tidak akan kehilangan
fungsinya sebagai sumber belajar masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar