Minggu, 25 Maret 2012
Jumat, 23 Maret 2012
Pentingnya Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Membangun Masa Depan Bangsa
Pendidikan
anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan
dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan
bagi anak
sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rohani agar
anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.
Pendidikan
anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik
(koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan
(daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan
perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan
tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.
Saat
ini bidang ilmu pendidikan, psikologi, kedokteran, psikiatri, berkembang dengan
sangat pesat. Keadaan itu telah membuka wawasan baru terhadap pemahaman
mengenai anak dan mengubah cara perawatan dan pendidikan anak. Setiap anak
mempunyai banyak bentuk kecerdasan (Multiple Intelligences) yang menurut Howard
Gardner terdapat delapan domain kecerdasan atau intelegensi yang dimiliki semua
orang, termasuk anak. Kedelapan domain itu yaitu inteligensi music, kinestetik
tubuh, logika matematik, linguistik (verbal), spasial, naturalis, interpersonal
dan intrapersonal.
Multiple Intelligences ini perlu
digali dan ditumbuh kembangkan dengan cara memberi kesempatan kepada anak untuk
mengembangkan secara optimal potensi-potensi yang dimiliki atas upayanya
sendiri.
Dibanding dengang perkembangan model
dan jenis PAUD di berbagai negara maju dan berkembang lainnya, PAUD di
Indonesia memiliki keunikan khusus yang agak berbeda dengan di luar negeri.
Karena di luar neger PAUD pada umumnya hanya dibedakan menjadi 2 (dua) macam
yaitu Kindergarden atau Play Group dan Day Care, sedang di Indonesia menjadi 4
(empat) macam yaitu
1. Taman Kanak-Kanak
(Kindergarten)
2. Kelompok Bermain (Play Group)
3. Taman Penitipan Anak (Day Care)
4. PAUD sejenis (Similar with Play
Group)
A.
Pentingnya Pendidikan Anak
Usia Dini dalam Membangun Masa Depan Bangsa
Kondisi SDM Indonesia berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh
PERC (Political and Economic Risk Consultancy) pada bulan Maret 2002
menunjukkan kualitas pendidikan Indonesia berada pada peringkat ke-12, terbawah
di kawasan ASEAN yaitu setingkat di bawah Vietnam. Rendahnya kualtias hasil
pendidikan ini berdampak terhadap rendahnya kualtias sumber daya manusia
Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini tentunya sulit bagi bangsa Indonesia untuk
mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Pembangunan sumber daya manusia yang
dilaksanakan di Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Jepang dan
sebagainya, dimulai dengan pengembangan anak usia dini yang mencakup perawatan,
pengasuhan dan pendidikan sebagai program utuh dan dilaksanakan secara terpadu.
Pemahaman pentingnya pengembangan anak usia dini sebagai langkah dasar bagi
pengembangan sumber daya manusia juga telah dilakukan oleh bangsa-bangsa ASEAN
lainnya seperti Thailand, Singapura, termasuk negara industry Korea Selatan.
Bahkan pelayanan pendidikan anak usia dini di Singapura tergolong
paling maju apabila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.Di Indonesia pelaksanaan PAUD masih terkesan ekslusif dan baru
menjangkau sebagian kecil masyarakat. Meskipun berbagai program perawatan dan
pendidikan bagi anak usia dini usia (0-6 tahun) telah dilaksanakan di Indonesia
sejak lama, namun hingga tahun 2000 menunjukkan anak usia 0-6 tahun yang
memperoleh layanan perawatan dan pendidikan masih rendah. Data tahun 2001
menunjukkan bahwa dari sekitar 26,2 juta anak usia 0-6 tahun yang telah
memperoleh layanan pendidikan dini melalui berbagai program baru sekitar 4,5
juta anak (17%). Kontribusi tertinggi melalui Bina Keluarga Balita (9,5%),
Taman Kanak-kanak (6,1%), Raudhatul Atfal (1,5%). Sedangkan melalui penitipan
anak dan kelompok bermain kontribusinya masing-masing sangat kecil yaitu
sekitar 1% dan 0,24%.
Masih rendahnya layanan pendidikan dan perawatan bagi anak usia dini
saat ini antara lain disebabkan masih terbatasnya jumla lembaga yang memberikan
layanan pendidikan dini jika dibanding dengan jumlah anak usia 0-6 tahun yang
seharusnya memperoleh layanan tersebut. Berbagai program yang ada baik langsung
(melalui Bina Keluarga Balita dan Posyandu) yang telah ditempuh selama ini
ternyata belum memberikan layanan secara utuh, belum bersinergi dan belum
terintegrasi pelayanannya antara aspek pendidikan, kesehatan dan gizi. Padahal
ketiga aspek tersebut sangat menentukan tingkat intelektualitas, kecerdasan dan
tumbuh kembang anak.
Pentingnya pendidikan anak usia dini telah menjadi perhatian dunia
internasional. Dalam pertemuan Forum Pendidikan Dunia tahun 2000 di Dakar
Senegal menghasilkan enam kesepakatan sebagai kerangka aksi pendidikan untuk
semua dan salah satu butirnya adalah memperluas dan memperbaiki keseluruhan
perawatan dan pendidikan anak usia dini, terutama bagi anak-anak yang sangat
rawan dan kurang beruntung, Indonesia sebagai salah satu anggota forum tersebut
terikat untuk melaksanakan komitmen ini.
Perhatian dunia internasional terhadap urgensi pendidikan anak usia
dini diperkuat oleh berbagai penelitian terbaru tentang otak. Pada saat bayi
dilahirkan ia sudah dibekali Tuhan dengan struktur otak yang lengkap, namun
baru mencapai kematangannya setelah di luar kandungan. Bayi yang baru lahir
memiliki lebih dari 100 milyar neuron dan sekitar satu trilyun sel
glia yang berfungsi sebagai perekat serta synap
(cabang-cabang neuron) yang akan membentuk bertrilyun-trilyun sambungan antar
neuron yang jumlahnya melebihi kebutuhan. Synap ini akan bekerja sampai usia
5-6 tahun. Banyaknya jumlah sambungan tersebut mempengaruhi pembentukan
kemampuan otak sepanjang hidupnya. Pertumbuhan jumlah jaringan otak dipengaruhi
oleh pengalaman yang didapat anak pada awal-awal tahun kehidupannya, terutama
pengalaman yang menyenangkan. Pada fase perkembangan ini akan memiliki potensi
yang luar biasa dalam mengembangkan kemampuan berbahasa, matematika,
keterampilan berpikir, dan pembentukan stabilitas emosional.
Ada empat pertimbangan pokok pentingnya pendidikan anak usia dini,
yaitu:
(1) menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas
(2) mendorong percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya
sosial
(3) meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat
(4) menolong para orang tua dan anak-anak
Pendidikan anak usia dini tidak sekedar berfungsi untuk memberikan
pengalaman belajar kepada anak, tetapi yang lebih penting berfungsi untuk
mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini sepatutnya juga
mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas pada proses
pembelajaran yang terjadi dalam lembaga pendidikan. Artinya, pendidikan anak
usia dini dapat berlangsung dimana saja dan kapan saja seperti halnya interaksi
manusia yang terjadi di dalam keluarga, teman sebaya, dan dari hubungan
kemasyarakatan yang sesuai dengan kondisi dan perkembangan anak usia dini.
Pendidikan anak usia dini menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, adalah suatu upaya pembinaan yang
ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 6 tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan
perkembangan jasmani dan rokhani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki
pendidikan lebih lanjut. Pendidikan anak usia dini dianggap penting karena
ketika anak lahir telah dibekali oleh Tuhan dengan berbagai potensi genetis,
tetapi lingkungan memberi peran sangat besar dalam pembentukan sikap
kepribadian dan pengembangan kemampuan anak. Selain itu jaringan otak manusia
yang paling menentukan terjadi ketika anak masih berusia dini, dan usia 4 tahun
pertama merupakan usia yang paling rawan. Yang perlu diperhatikan dari anak
adalah seberapa jauh anak merasa diperhatikan, diberi kebebasan atau kesempatan
untuk mengekspresikan ide-idenya, dihargai hasil karya atau prestasinya,
didengar isi hatinya, tidak ada paksaan atau tekanan, ancaman terhadap dirinya
dan mendapatkan layanan pendidikan sesuai tingkat usia dan perkembangan
kejiwaannya.
Pendidikan anak usia dini popular pada tahun 80-an yang dikenal
dengan Taman Kanak-Kanak. Sejarahnya lembaga taman kanak-kanak atau
kindergarten ini berkembang di Jerman. Adapun nama kindergarten berasal dari
bahasa Jerman. Tokohnya adalah Friederich Wilhelm Froebel (1782-1852). Di
Indonesia pun Froebel ini dianggap sebagai peletak dasar diadakannya Taman
Kanak-Kanak dengan metode belajar seraya bermain, bermain sambil belajar. Oleh
karena itu pada jaman penjajahan Belanda istilah Taman kanak-kanak sering pula
disebut kleuterschool atau Froebelschool. Tokoh lainnya yang tidak bisa
dipisahkan dari pendidikan anak usia dini adalah Maria Montessori. Menurut
Montessori pada diri anak terdapat semangat belajar yang sangat luar biasa.
Oleh karena itu tugas guru adalah menciptakan lingkungan yang responsif
terhadap kebutuhan anak-anak tersebut. Istilah Taman Kanak-Kanak dalam bahasa
Inggris ada yang menamakan kids school. Pada tahun 1982 berkembang menjadi
early child school education. Akar kata early child school berasal dari
perkembangan kata itu, yaitu ada dari masa inform, bayi dua tahun, kemudian
masuk masa early child school sampai umur enam atau tujuh tahun, baru dari umur
tujuh tahun masuk masa child school. Dari masa early child school konsep
pendidikan dalam artian yang terorganisir mulai dari anak usia dua tahun, baru
masuk masa preschool biasanya anak empat sampai enam tahun, sedangkan
pendidikan anak usia sebelumnya biasanya disebut informal education (pendidikan
informal).
Konsep pendidikan anak usia dini di Indonesia mencakup pendidikan
anak dari mulai usia nol tahun sampai enam tahun. Jadi mungkin lebih tepat dikatakan
pendidikan sebelum masa kanak-kanak. Sebelum usia dua tahun namanya bukan anak
tetapi inform. Di Amerika Serikat anak usia dini (early child school education)
sampai usia tujuh atau delapan tahun atau sampai kelas tiga sekolah dasar (SD).
Sebelum usia empat tahun bukan termasuk pendidikan, tetapi kelompok
bermain (child chair). Anak-anak diberi kesempatan bermain di kelas secara
bebas, sehingga mereka merasa senang di kelas. Tujuannya adalah untuk
merangsang pertumbuhan sel saraf di otak (neurosikologi). Neurosikologi adalah
teori psikologi yang menjelaskan tentang pertumbuhan sel saraf otak.
Di dalam ilmu pengetahuan kedokteran ditegaskan bahwa sel-sel
manusia yang ada di kulit, otot, tulang, dan mata, akan mengalami pembaruan
atau perkembangan setiap tujuh tahun sekali, kecuali sel pusat syaraf.
Perkembangan sel pusat syaraf selesai pada usia 7 tahun. Begitu pula sel-sel
otaknya berkembang pada masa 1 – 7 tahun. Berubahnya sel-sel otak dan sel pusat
syaraf berubah-ubah atau berkembang mengalami pembaruan, maka akan berubah pula
kepibadiannya. Untuk itu perilaku anak pun akan mengalami banyak perubahan
setiap harinya. Hal ini merupakan rahmat Allah swt. terhadap makhluknya dengan
tidak membebani taklif (perintah dan larangan agama) kepada orang yang belum
mukallaf, yaitu orang yang belum sempurna perkembangan dirinya. Ketika anak
beranjak dewasa, maka kepribadiannya makin kuat sesuai dengan kuatnya sel-sel
pusat syaraf yang sudah tidak lagi mengalami penambahan dan pengurangan
sedikitpun walaupun mengalami benturan atau sakit. Andai sel-sel pusat syaraf
mengalami pengurangan atau penambahan setelah sempurnanya perkembangan, tentu
anggota tubuh manusia tidak bisa bergerak sebagaimana mestinya.
Gambaran umum perkembangan jaringan otak anak usia dini yaitu usia
0-10 tahun jika diberi rangsangan/stimulus, maka grafiknya naik. Pada usia 7
dan 8 tahun sudah mulai naik tingkatannya. Pada usia mulai umur empat sampai
enam tahun dikenal dengan usia wonder age. Namun harus memberikan
rangsangan/stimulus. Rangsangan pada anak usia itu antara lain memberikan
sentuhan, menunjukkan warna-warni, atau mendengarkan suara hingga otaknya
optimal menerima dan mempengaruhi kendali tubuh termasuk otak kanan dan kiri.
Jika tidak diberikan rangsangan maka akan menjadikan anak rentan terhadap
pertumbuhan dan perkembangan. Jika kita permissive kepada anak dengan
memberikan kebebasan untuk berbuat, maka akan membuat anak benar-benar mandiri
dan mampu mengendalikan dirinya sendiri. Namun sebaliknya jika anak tidak
diberikan kebebasan berbuat akan menjadikan dirinya tidak mandiri dan
menggantungkan dirinya kepada orang lain. Anak yang defendent (ketergantungan)
kepada orang lain karena orang tuanya terlalu protektif sehingga dalam benak
anak akan muncul rasa takut salah. Anak tidak diberikan kesempatan offensif
sehingga muncul socio-conform, sehingga anak menjadi dependent. Oleh karena itu
tidak usah heran jika ada anak yang sehari-harinya belajar sangat pinter dengan
nilai-nilainya yang bagus. Namun kurang bersosialisasi atau tidak berani,
takut, merasa malu ketika berdiskusi atau menyampaikan pendapat. Anak menjadi
self relation atau hanya mampu bersosialisasi dengan dirinya saja tanpa dengan
orang lain.
Anak-anak yang tumbuh dalam tekanan-tekanan, misalnya rasa takut,
khawatir, stress, dan sebagainya ketika remajanya akan merasakan suatu
dorongan-dorongan agresif atau nakal yang menimbulkan efek negatif. Mungkin
anak itu kreatif tetapi kreatifitasnya menuju ke arah yang negatif bahkan bisa
ke arah sadis. Tetapi jika anak-anak diperhatikan (care) bahkan sejak masa bayi
hingga muncul rasa semangat, maka petumbuhannya akan sangat teratur sekali
sehingga dia berpikir logis, lebih memperhatikan (care) kepada orang lain. Ibu
memiliki peran sangat besar terhadap pendidikan anak-anak mulai sejak bayi.
Ketika beranjak lebih besar lebih bagus jika anak itu dikirimkan ke child care
atau kelompok bermain. Meskipun untuk saat sekarang yang mampu menitipkan
anaknya ke tempat bermain adalah orang-orang yang kelas ekonominya menengah ke
atas, karena kelompok menengah ke bawah jarang yang menitipkan anaknya di
kelompok bermain. Namun demikian yang diperlukan dari seorang ibu adalah tahu
cara mengasuh anak karena itu bagian dari tujuan pendidikan, sehingga anak-anak
akan tumbuh bukan hanya secara fisik saja tetapi juga secara logis bagus pula
tumbuh berkembang secara psikologisnya dan secara neurosis pada track yang
bagus.
B.
Perkembangan
Anak Usia Dini
Sebagian besar masyarakat berpendapat bahwa memberikan pendidikan
anak usia dini cukup dilakukan oleh orang dewasa yang tidak memerlukan
pengetahuan tentang PAUD. Selain itu juga mereka menganggap PAUD tidak
memerlukan profesionalisme. Pandangan tersebut adalah keliru.
Jika PAUD ingin
dilakukan di rumah oleh ibu-ibu sendiri, maka ibu-ibu itu perlu belajar dan
menambah pengetahuan tentang proses pembelajaran anak, misalnya dengan membaca
buku, mengikuti ceramah atau seminar tentang PAUD.
Kenyataannya semakin banyak ibu-ibu bekerja di luar rumah, oleh
karena itu haruslah orang yang menggantikan peran ibu tersebut memahami proses
tumbuh kembang anak. Pembelajaran pada anak usia dini adalah proses
pembelajaran yang dilakukan melalui bermain. Ada lima karakteristik bermain
yang esensial dalam hubungan dengan PAUD (Hughes, 1999), yaitu: meningkatkan
motivasi, pilihan bebas (sendiri tanpa paksaan), non linier, menyenangkan dan
pelaku terlibat secara aktif.
Bila salah satu kriteria bermain tidak terpenuhi misalnya guru
mendominasi kelas dengan membuatkan contoh dan diberikan kepada anak maka
proses belajar mengajar bukan lagi melalui bermain. Proses belajar mengajar
seperti itu membuat guru tidak sensitif terhadap tingkat kesulitan yang dialami
masing-masing anak.
Ketidaksensitifan orangtua terhadap kesulitan anak bisa juga
terjadi, alasan utama yang dikemukakan biasanya karena kurangnya waktu karena
orangtua bekerja di luar rumah. Memahami perkembangan anak dapat dilakukan
melalui interaksi dan interdependensi antara orangtua dan guru yang terus
dilakukan agar penggalian potensi kecerdasan anak dapat optimal. Interaksi
dilakukan dengan cara guru dan orangtua memahami perkembangan anak dan
kemampuan dasar minimal yang perlu dimiliki anak, yaitu musikal, kinestetik
tubuh, logika matematika, linguistik, spasial, interpersonal dan intrapersonal,
karena pada umumnya semua orang punya tujuh intelegensi itu, tentu bervariasi
tingkat skalanya.
C.
Peran Orang Tua
dalam Pendidikan Anak Usia Dini
Anak adalah perwujudan cinta kasih orang dewasa yang siap atau tidak
untuk menjadi orang tua. Memiliki anak, siap atau tidak, mengubah banyak hal
dalam kehidupan, dan pada akhirnya mau atau tidak kita dituntut untuk siap
menjadi orang tua yang harus dapat mempersiapkan anak-anak kita agar dapat
menjalankan kehidupan masa depan mereka dengan baik.
Mengenal, mengetahui, memahami dunia anak memang bukan sesuatu yang
mudah. Dunia yang penuh warna-warni, dunia yang segalanya indah, mudah, ceria,
penuh cinta, penuh keajaiban dan penuh kejutan. Dunia yang seharusnya dimiliki
oleh setiap anak anak namun dalam kepemilikanya banyak bergantung pada peranan
orang tua.
Para ahli sependapat bahwa peranan orang tua begitu besar dalam
membantu anak-anak agar siap memasuki gerbang kehidupan mereka. Ini berarti
bahwa jika berbicara tentang gerbang kehidupan mereka, maka akan membicarakan
prospek kehidupan mereka 20-25 tahun mendatang. Pada tahun itulah mereka
memasuki kehidupan yang sesungguhnya. Masuk ke dalam kemandirian penuh, masuk
ke dalam dunia mereka yang independen yang sudah seharusnya terlepas penuh dari
orang tua dimana keputusan-keputusan hidup mereka sudah harus dapat dilakukan
sendiri. Disinilah peranan orang tua sudah sangat berkurang dan sebagai orang
tua, pada saat itu kita hanya dapat melihat buah hasil didikan kita sekarang,
tanpa dapat melakukan perubahan apapun.
Mengapa orang tua perlu meningkatkan intelektualitas anak demi
mempersiapkan mereka masuk sekolah? Jawabannya, sekolah saat ini meminta
persyaratan yang cukup tinggi dari kualitas seorang siswa. Masih didapat siswa
yang masuk SD sudah diperkenalkan dengan berbagai macam pelajaran dan ilmu
sejak dini. Anak-anak sudah harus memiliki kreativitas yang tinggi sejak kecil.
Oleh sebab itu, anak-anak yang memiliki intelektualitas yang tinggi akan lebih
mudah menerima dengan baik semua yang diajarkan. Mereka akan memiliki
kepercayaan diri yang tinggi, lebih mudah beradaptasi, lebih mudah menerima
hal-hal yang baru, atau intelektualitas anak bisa dikembangkan jauh sebelum
mereka masuk ke sekolah. Kondisi seperti itulah yang menempatkan orang tua
sebagai guru pertama dan utama bagi anak-anaknya dalam program pendidikan
informal yang terjadi di lingkungan keluarga.
D.
Layanan Pendidikan Anak Usia Dini
Layanan pendidikan anak usia dini untuk meningkatkan atau memperluas
dan memeratakan atau meningkatkan proporsi anak yang terlayani pendidikan dan
juga meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang berkualitas.
Perluasan pendidikan anak usia dini dalam upaya membina,
menumbuhkan, mengembangkan seluruh potensi anak usia dini secara optimal. Di
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2005 salah satu
prioritasnya “meningkatkan akses masyarakat terhadap pendidikan yang
berkualitas antara lain dengan meningkatkan perluasan pendidikan anak usia
dini”. Oleh karena itu diperlukan program atau lembaga pendidikan dengan
sasarannya adalah untuk meningkatkan proporsi anak yang belajar pendidikan anak
usia dini. Selain itu juga untuk meningkatkan prestasi anak usia dini dalam
rangka membina, menumbuhkan, mengembangkan seluruh potensi anak usia dini
sesuai dengan potensinya, tahap perkembangan, dan tingkat usia secara optimal
agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. Potensi sama
dengan talent. Tahap perkembangan anak dapat dilihat dari sisi fisik,
psikologis, neurologis, atau intelektual. Untuk menumbuh kembangkan anak usia
dini itu maka diperlukan upaya meningkatkan akses serta mutu kelayakan baik
melalui jalur formal maupun non formal. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah
menyediakan sarana dan prasarana, termasuk optimalisasi fasilitas yang ada dan penyediaan
pembiayaan operasional dan kongruen.
Penyelenggaraan pelayanan pengembangan anak usia dini dengan jenis
pelayanan yang lengkap dan utuh mencakup pemenuhan kebutuhan pelayanan
kesehatan, gizi, pendidikan, pengasuhan, serta perlindungan yang dilaksanakan
secara terintegrasi oleh berbagai pihak penyelenggara menuju terwujudnya anak
usia dini Indonesia yang sehat, cerdas, ceria, dan berakhlak mulia. Tujuannya
adalah terpenuhinya kebutuhan essensial anak usia dini secara utuh meliputi
kesehatan dan gizi, pendidikan dan pengasuhan sesuai usia anak. Selain itu anak
pun terlindungi dari perlakuan yang salah dari keluarga atau masyarakat.
Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini dapat melibatkan partisipasi
masyarakat secara aktif sejak identifikasi kebutuhan, merancang program,
melaksanakan program dan pengawasannya. Tempat, waktu, dan sarana yang
digunakan bersifat fleksibel dan memberdayakan yang sudah ada di masyarakat
yang penting aman bagi anak dan tidak mengganggu waktu istirahatnya, antara
lain TK/RA, Posyandu, atau majlis taklim.
Penyelenggaraan pendidikan anak usia dini dilakukan melalui jalur
formal, non formal dan informal. Jalur formal adalah taman kanak-kanak (TK),
raudhatul athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Jalur non formal
merupakan pengganti, pelengkap, dan penambah PAUD formal, yaitu kelompok
bermain (KB), taman penitipan anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.
Sasarannya adalah anak usia 2-4 tahun jika sudah ada yang formal. Namun jika
belum ada yang formal, maka sasarannya anak usia 4-6 tahun yang diarahkan
menjadi TK alternatif. Jika yang formal sudah ada namun tidak memungkinkan
menggarap anak usia 4-6 tahun, maka layanan diberikan oleh non formal. Jalur
informal adalah pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh
lingkungan.
Kompetensi yang dimiliki oleh anak setelah menyelesaikan pendidikan
anak usia dini dan melanjutkan ke pendidikan selanjutnya adalah menjadi makhluk
mulia yang tekun beribadah dan berperilaku sopan dan baik, kecerdasan
kinestetik dengan gerakan halus dan kasar, mampu menyampaikan komunikasi dengan
aktif dan santun, cara berpikirnya logis, kritis dalam memecahkan masalah,
memiliki interes atau kreatif yang baik terhadap musik, adanya kecintaan pada
alam sekitar, adat, dan budaya. Pencapaian kompetensi ini antara lain dilakukan
melalui bermain sesuai dengan tingkat kemampuan anak, memperhatikan perbedaan
individual anak, adanya suasana penuh perhatian dan kasih sayang pada anak, dan
memperhatikan kebutuhan dan kondisi sosial budaya setempat.
Anak-anak yang memperoleh layanan PAUD prosentasenya atau angka
partisipasinya baru 28% dari populasi kurang lebih 28 juta anak. Untuk itu
perlu diusahakan agar bisa meningkatkan partisipasi sekolah anak yang bisa
memperoleh layanan PAUD. Lulusan kualifikasi guru PAUD lebih banyak SLTA, D1,
D2. atau D3, dan masih jarang yang S 1. Untuk itu kualifikasi guru itu perlu
ditingkatnya dengan melanjutkannya ke S 1. Dari segi latar belakang orang tua
yang menyekolahkan anaknya ke PAUD lulusan SMP sebanyak 59 %, SMA 32 %, D1 4 %,
S1 3,5 %. Dari segi penghasilan orang tua yang menyekolahkan anaknya ke PAUD
adalah penghasilan tidak tetap sebanyak 44 %, kurang dari Rp. 500.000 sebanyak
16%, antara Rp. 500.000-1.000.000 sebanyak 24%. Dari data itu mennjukkan bahwa
orang tua yang berpenghasilan tidak tetap pun masih bisa menyekolahkan anaknya
ke PAUD. Artinya mereka memandang bahwa PAUD itu penting. Permasalahan yang
dihadapi adalah kurang optimalnya perhatian dan kepedulian terhadap PAUD,
ketersediaan dan kualifikasi pendidik dan tenaga pendidik yang masih belum
memadai, sehingga kualitas pembelajaran kurang optimal, sarana dan prasarana
yang terbatas, keterbatasan akses pada tempat pendidikan secara merata.
E.
Pendidikan Anak Usia Dini di Sekolah dan di Keluarga
Pendidikan selalu identik dengan sekolah atau lembaga pendidikan
formal. Bahkan sekolah dianggap sebagai kebutuhan pokok yang harus dirasakan
oleh anak dan tidak dapat digantikan dengan apapun. Sekolah dianggap sebagai
sarana untuk tercapainya keberhasilan dalam mengarungi hidup dan kehidupan.
Oleh karena itulah banyak orang tua yang merasa khawatir jika anaknya tidak
sekolah. Padahal sekolah itu hanya salah satu faktor keberhasilan anak dalam
mengenyam pendidikan. Faktor lainnya adalah pendidikan keluarga di rumah karena
pendidikan bermula dari keluarga yang dianggap sama pentingnya karena sekolah
memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu antara lain keterbatasan waktu dan
ruang. Waktu belajar di sekolah sekitar 5 – 8 jam. Tempat belajarnya pun
terbatas hanya di ruangan yang terdiri atas empat dinding satu lantai dan satu
atap. Kelemahan ini menyebakan sekolah tidak dapat menumbuhkembangkan potensi
anak secara optimal. Akibatnya tujuan pendidikan untuk mendewasakan,
memandirikan anak menjadi terbatas oleh waktu dan ruang tersebut. Sekolah pun
tidak dapat mengambil alih sepenuhnya peran orang tua dalam mendidik anak,
terutama dalam hal menanamkan nilai-nilai yang dianggap penting seperti
pendidikan nilai, moral, sosialisasi, dan agama. Sedangkan sekolah lebih
dominan pada pemberian ilmu pengetahuan yang bersifat akademik atau aspek
kognitif saja.
Keluarga adalah unit masyarakat yang terkecil dan penting dalam
masyarakat (family is the fundamental of society). Keluarga adalah tempat
pertama dan utama bagi anak. Keluarga sangat besar perannya bagi pertumbuhan
dan perkembangan anak hingga dewasa nanti. Di dalam resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dinyatakan bahwa keluarga adalah tempat untuk
mendidik, mengasuh, dan mensosialisasikan anak mengembangkan seluruh
kemampuannya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga
sejahtera. Pembinaan keluarga dilakukan melalui pendidikan yang bertujuan agar
seluruh anggota keluarga mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Tujuan ini
dicapai didasarkan pada program pendidikan yang dilakukan oleh orang tua sejak
anak-anak, remaja sampai dewasa, karena salah satu faktor penting dalam
pendidikan di keluarga adalah orang tua. Orang tua sebenarnya bisa lebih
mengarahkan perkembangan dan pertumbuhan anak sesuai dengan bakat dan minat,
karena orang tua akan langsung tahu sejauh mana anaknya belajar.
Seorang ahli bernama Bronfenbrenner (2006) mengatakan bahwa
kesejahteraan psikis dan fisik serta pendidikan anak sangat bergantung pada
sejahtera atau tidaknya keluarga. Apabila keluarga gagal untuk mengajarkan
kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi terbaik, dan kemampuan-kemapuan
dasar, maka akan sulit sekali bagi lembaga-lembaga lain untuk memperbaiki
kegagalannya. Seorang anak dalam proses tumbuh kembangnya dipengaruhi oleh
lingkungan keluarga, dan setelah itu oleh lingkungan diluar keluarga. Peran
keluarga dalam pendidikan, sosialisasi dan penanaman nilai kepada anak sangat
besar. Keluarga kuat adalah keluarga yang dapat menciptakan generasi-generasi
penerus yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku
kehidupan di masyarat. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi
konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan keberhasilan anak dalam
kehidupan sosial di masa dewasanya kelak.
Segala perilaku orang tua, pola asuh, dan pendidikan yang diterapkannya
di dalam keluarga pasti berpengaruh dalam pembentukan kepribadian anak.
Perilaku itu antara lain kasih sayang, sentuhan, kedekatan emosi (emotional
bonding) orang tua serta penanaman nilai-nlai yang dapat mempengaruhi
kepribadian anak. Mengembangkan pendidikan dalam keluarga maka orang tua
memegang peran penting dalam mencetak anak mempunyai akhlak yang luhur,
perilaku jujur, disiplin dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk
meningkatkan kualitas dirinya. Usia dini merupakan masa peka anak-anak untuk
menerima dan meletakkan dasar pertama dalam upaya pengembangan kemampuan fisik,
kognitif, bahasa, sosial, emosi, konsep diri, disiplin, seni, moral, dan
nilai-nilai agama. Pada masa peka ini sedang terjadi pematangan fungsi fisik
dan psikis yang siap merespons berbagai rangsangan yang diterimanya dari luar.
Usia dini merupakan masa kritis sebagai pembentukan karakter anak. Kegagalan
penanaman karakter pada anak sejak usia dini akan membentuk pribadi yang
bermasalah di masa dewasanya kelak. Seperti dalam sebuah ungkapan bahwa
mendidik anak-anak kecil ibarat menulis di atas batu yang akan terus berbekas
sampai usia tua. Sedangkan mendidik orang dewasa ibarat menulis di atas air
yang akan cepat sirna dan tidak berbekas. Membiasakan mendidik anak sejak kecil
dapat membuahkan hasil yang terbaik. Sebaliknya membiasakannya ketika dewasa
sangat sulit, seperti dalam sebuah perumpamaan bahw mendidik anak seperti
sebatang dahan, ia akan lurus bila diluruskan. Dahan itu tidak akan bengkok
meskipun sudah menjadi sebatang kayu. Thomas Licona (Depkominfo, 2006)
mengungkapkan bahwa walaupun jumlah anak-anak hanya 25% dari jumlah penduduk,
tetapi menentukan 100% masa depan. Seorang anak adalah satu-satunya bahan dasar
dapat membentuk seorang dewasa yang bertanggung jawab. Oleh karena itu orang
tua dan juga guru hendaknya selalu mencegah anak-anak dari akhlak yang buruk
sejak dini, sebagai bekal meletakkan dasar yang kuat bagi kehidupan di masa
datang. Akhlak buruk yang timbul pada diri anak bukanlah lahir dari fitrahnya,
melainkan karena kurangnya perhatian sejak dini dari orang tua. Jika semakin
dewasa nanti maka akan semakin sulit untuk meninggalkan akhlak buruk tersebut
karena sudah mengakar dalam dirinya dan menjadi kebiasaan yang sulit untuk
ditinggalkan. Padahal agama mengajarkan bahwa setiap manusia mempunyai fitrah
untuk melakukan kebaikan. Fitrah itu merupakan potensi yang perlu dikembangkan
melalui pendidikan.
Dewasa ini sudah dan sedang terjadi perubahan proses pendidikan dari
yang lebih mementingkan kecerdasan otak kiri atau IQ ke arah mementingkan
kecerdasan otak kanan atau EQ atau kecerdasan emosional. Kecerdasan otak kiri
menekankan pada anak untuk menguasai kemampuan kognitif. Keberhasilannya
dtentukan oleh kemampuan anak membaca, menulis, dan berhitung pada usia dini.
Kematangan emosi-sosial anak terbentuk sejak usia dini menentukan keberhasilan
anak di sekolah dan di masyarakat, serta kehidupannya di masa selanjutnya.
Kematangan emosi ditandai antara lain oleh ketertarikan pada sesuatu di
sekelilingnya, mempunyai rasa percaya diri, mengetahui kapan dan bagaimana anak
meminta pertolongan dari guru atau orang-orang dewasa lainnya, kesabaran
menunggu, mematuhi instruksi, dan mampu bekerja sama dengan kelompok (Danil
Goleman, 2006). Orang beranggapan keberhasilan akademik anak diukur dengan
nilai angka dan ranking bukan pada proses belajar, sehingga anak dipaksa untuk
belajar keras. Akibatnya waktu bermain anak tidak ada. Anak akan cepat bosan
bahkan mogok belajar, prestasi belajarnya menurun. Pada usia dewasa nanti
menjadi sumber daya manusia yang tidak bisa bekerja, atau tidak terampil. Anak
tidak menghargai pekerjaan yang memerlukan keterampilan, kerajinan, ketekunan,
kerja keras dan cerdas, percaya diri dengan kemampuan sendiri. Selain itu
karena tujuannya mencetak anak pandai di bidang akademik kognitif, maka materi
pelajaran yang berkaitan dengan otak kiri saja yang diperhatikan yaitu bahasa
dan logis matematik. Padahal banyak materi pelajaran yang berkaitan dengan otak
kanan (kesenian, musik,) kurang mendapat perhatian. Kalaupun ada perhatian,
maka orientasinya juga lebih pada kognitif berupa hafalan, tidak ada apresiasi
dan penghayatan yang dapat menumbuhkan semangat untuk belajar.
Anak usia dini yang tidak mempunyai bekal kompetensi sosial dan
emosional sering tidak berhasil dalam masa-masa belajar di sekolah.
Kehidupannya akan menghadapi berbagai masalah emosi, perilaku, akademik, dan
perkembangan sosial yang akan terbawa sampai dewasa. Mereka mengalami rendahnya
rasa percaya diri dan keingin tahuan, rendahnya motivasi, rendahnya rasa
empati, ketidakmampuan mengontol diri, kegagalan bersosialisasi, dan
ketidakmampuan bekerja. Daniel Goleman (Depkominfo, 2006:15) beranggapan bahwa
keberhasilan seseorang di masyarakat sebagian besar ditentukan oleh kecerdasan
emosi (80%) dan hanya 20% ditentukan oleh faktor kecerdasan kognitif (IQ).
Beberapa aspek emosi-sosial yang menentukan keberhasilan anak antara lain rasa
percaya diri (confidence), rasa ingin tahu (curiosity), kemampuan mengontrol
diri (self control), kemampuan bekerja sama (cooperation), memiliki sifat
jujur, bisa diandalkan, bisa dipercaya (amanah), bekerja tepat waktu, mampu dan
cepat menyesuaikan diri dengan orang lain, mampu bekerja sama ataupun mandiri,
mempunyai motivasi kuat meningkatkan kualitas diri, percaya bahwa dirinya
berharga, mampu berkomunikasi, dapat menyelesaikan masalah.
Tujuan pendidikan adalah membentuk anak agar senang dan termotivasi
untuk terus belajar seraya bermain. Lebih menekankan pada penyiapan kecerdasan
emosi sehingga anak diberi kesempatan untuk berkembang secara alami. Anak lebih
senang bermain yang dapat mengembangkan fungsi otak kanan, sehingga akan
memudahkan anak menguasai pelajaran yang diberikan guru. Anak mengalami proses
social emotional learning (kecerdasan emosi), joyful learning (belajar yang
menyenangkan), dan active learning (anak terlibat aktif). Anak bukan sekedar
objek tetapi subjek pendidikan. Oleh karena itu guru di sekolah dan orang tua
di rumah seharusnya memberikan lingkungan yang dapat menumbukan rasa senang dan
gembira seolah-olah mereka sedang bermain, padahal sebenarnya sedang belajar.
Anak-anak tanpa sadar sedang diberikan pelajaran, seperti berhitung, menulis,
atau membaca. Anak tertarik dengan angka dan huruf sehingga anak menjadi lebih
banyak bertanya dan ingin tahu untuk diajarkan lebih banyak lagi oleh guru atau
orang tuanya. Pada diri anak akan tumbuh rasa cinta untuk belajar, tidak perlu
dipaksakan dengan perintah atau pelajaran terlalu kaku, membebani, dan
membosankan, sehingga hasilnya tidak optimal.
Guru atau orang tua perlu memberikan bekal yang penting bagi anak
yaitu menciptakan kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan
dapat berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademik. Kematangan emosi sosial anak juga berkorelasi
positif terhadap kesehatan fisik anak, yaitu anak mampu mengendalikan stress
yang dialaminya, karena jika stress tidak dikendalikan akan menyebabkan
timbulnya berbagai penyakit.
Memenuhi dan melindungi anak berarti menyelamatkan masa depan
bangsa. Untuk itu anak-anak mulai golden age hingga menjadi anak-anak bisa
berkontribusi yang cukup signifikaan terhadap kemampuannya sehingga Indonesia
pada tahun 2015 menjadi mandiri, sejahtera, dan terpadu
Bangga dengan FKIP !! ;)
Fakultas
Keguruan Menyelenggarakan
pendidikan akademik dan profesional yang lulusannya menjadi tenaga kependidikan
pada jenjang pendidikan dasar (TK, SD/MI, dan SMP/MTs, SMA/MA, SMK serta Pendidikan
Tinggi) sesuai kebutuhan pengembangan pendidikan dan pembangunan. Melakukan kerjasama dalam bidang pendidikan,
pelatihan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat dengan PTN/PTS
di dalam dan di luar negeri, seta instansi-instansi pemerintah dan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya.
Fakultas
Keguruan menjamin kualitas
lulusan dengan 5 standar kompetensi lulusan sebagai berikut:
1. Kompetensi Pedagogik
2. Kompetensi Profesional
3. Kompetensi Sosial
4. Kompetensi Kepribadian Islami
5. Kompetensi Teknologi
1. Kompetensi Pedagogik
2. Kompetensi Profesional
3. Kompetensi Sosial
4. Kompetensi Kepribadian Islami
5. Kompetensi Teknologi
Gambar diatas adalah Gedung 7 FAKULTAS
KEGURUAN UNS, tempat dmn skrg saya
menuntut ilmu. Menurut saya ambil Fakultas
Keguruan jurusan apa pun prospek kerjanya bagus. Faktanya di Indonesia
sampai saat ini kekurangan tenaga guru profesional. Gaji guru sekarang pun
sangat tinggi. Jika sudah jadi PNS bisa ikut sertifikasi guru, kalau lulus
sertifikasi dapat tambahan satu kali gaji pokok per bulan .
By:
Sayyida Sarah (Mahasiswi UNS jurusan S1 Ilmu Pendidikan prodi PGPAUD)
Langganan:
Postingan (Atom)